Rabu, 26 September 2018

Kasus - Kasus Pelanggaran Kode Etik Psikologi




Ditulis sebagai syarat untuk tugas mengenai pelanggaran kode etik psikologi mata kuliah Kode Etik Psikologi, Oleh :

Nama  : Ikhwanda Satya
Kelas    : Psikologi C
NIM     : 1871041012



Kasus 1
Oleh: Yuliana Ratnasari - 13 Oktober 2016
Diakses dari tirto.id pada Rabu, 26 September 2018 pukul 19.10
tirto.id - Berdasarkan hukum yang berlaku, menurut Otto Hasibuan, psikolog tidak diperbolehkan mengungkap rahasia pengguna layanan psikologinya di depan umum. Karena itulah, pengacara terdakwa Jessica Kumala Wongso itu menyatakan bahwa tindakan saksi ahli psikologi yang menguak rahasia kliennya dalam sidang perkara pembunuhan Wayan Mirna Salihin, merupakan bentuk pelanggaran kode etik.
Pernyataan itu diungkapkan Otto Hasibuan dalam sidang lanjutan atas terdakwa Jessica Kumala Wongso dengan agenda pembacaan nota pembelaan. Sebelum ini, terkait pemaparan kondisi psikis Jessica, Otto juga menyebutkan bahwa hasil pemeriksaan psikologis tidak memiliki kesesuaian dan tidak benar.
“Psikolog dan ilmuwan psikologi wajib memegang teguh rahasia yang menyangkut klien atau pengguna layanan psikologi dalam hubungan pelaksanaan kegiatannya,” jelas Otto saat menyampaikan nota pembelaan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, seperti dilansir Antara, Kamis (13/10/2016).
Menurut dia, psikolog hanya dapat membuka rahasia tanpa persetujuan klien untuk keperluan hukum atau tujuan lain seperti membantu mereka yang memerlukan pelayanan personal baik secara perorangan maupun organisasi serta untuk melindungi pengguna layanan psikologi dari masalah atau kesulitan.
Penggunaan keterangan atau data yang diperoleh psikolog atau ilmuwan psikologi, ia melanjutkan, hendaknya mematuhi hal-hal antara lain hanya dapat diberikan kepada pihak berwenang dan hanya memuat hal-hal yang langsung berkaitan dengan tujuan pemberian layanan psikologi.
Selain itu, menurut dia, pengungkapan keterangan psikolog dapat didiskusikan dengan orang-orang atau pihak yang langsung berwenang atas diri pengguna layanan psikologi dan dikomunikasikan secara bijaksana lewat lisan atau tertulis kepada pihak ketiga hanya bila diperlukan untuk layanan psikologi profesi.
"Dengan demikian di mana ahli psikologi Antonia Ratih, yang membuka rahasia di depan umum, adalah bertentangan dengan kode etik profesi psikolog. Apalagi ahli psikologi ini hadir di persidangan secara volunteer, bukan atas perintah pengadilan," katanya.
Otto melanjutkan, apabila saksi ahli tersebut membuka rahasia di muka sidang tanpa perintah pengadilan atau di mana pun akan mendapat ancaman hukum pidana. Dia juga menuduh jaksa penuntut umum telah keliru menafsirkan kode etik profesi tersebut. "Sehingga penjelasan di sini hanya terkait dengan pengungkapan rahasia di sidang pengadilan," katanya.

Pelanggaran Kode Etik
1.        Bab V kerahasiaan
·         Pasal 24 (mempertahankan kerahasiaan data).
·         Pasal 26 (pengungkapan kerahasiaan data) ayat 1


Kasus II
Diakses dari http://pemujawarnaungu.blogspot.com pada Rabu, 26 September 2018
S seorang Psikolog, membuka praktik psikologi dengan memasang plang di depan rumahnya. Ia melakukan beberapa praktik antara lain mendiagnosis, memberikan konseling dan psikoterapi terhadap kliennya. Namun ketika memberikan hasil diagnosis, ia justru menggunakan istilah-istilah psikologi yang tidak mudah dimengerti oleh kliennya, sehingga sering terjadi salah paham terhadap beberapa klien tersebut.
Hal lain sering pula terjadi saat ia memberikan prognosis kepada klien, seperti menganalisis gangguan syaraf yang seharusnya ditangani oleh seorang dokter. Ia juga sering menceritakan masalah yang dialami klien sebelumnya kepada klien barunya dengan menyebutkan namanya saat memberikan konseling.
Psikolog S terkadang juga menolak dalam memberikan jasa dengan alasan honor yang diterima lebih kecil dari biasanya. 
Di lain waktu, ada sebuah perusahaan membutuhkan karyawan baru untuk di tempatkan pada staf-staf tertentu dalam perusahaan. Pimpinan perusahaan tersebut kemudian memakai jasa Psikolog S untuk memberikan psikotes pada calon karyawan yang berkompeten dalam bidangnya. Namun, ketika memberikan psikotes tersebut,  ia bertemu dengan R saudaranya dan meminta agar Psikolog S memberikan hasil psikotes yang baik supaya R dapat diterima dalam perusahaan tersebut. Karena merasa tidak enak dengan saudaranya itu, akhirnya Psikolog S itu memberikan hasil psikotes yang memenuhi standart seleksi penerimaan calon karyawan, hingga R tersebut kemudian diterima dalam perusahaan tersebut dengan menduduki staf tertinggi.
Lama-kelamaan, perusahaan tersebut ternyata sering kecewa terhadap cara kerja R karena dianggap tidak berkompeten dalam bidangnya. hingga akhirnya Pimpinan perusahaan menyelidiki cara pemberian jasa Psikolog S, namun alangkah terkejutnya pimpinan tersebut ketika mengetahui bahwa Pendirian Praktik Psikolog S ternyata belum tercatat pada HIMPSI dan Psikolog S tersebut sama sekali belum pernah menjadi anggota HIMPSI.

Kode etik yang dilanggar
1.        Bab I pedoman umum
·         Pasal 1 ayat 3 (psikolog wajib memliki ijin praktek).
·         Pasal 2 Prinsip A (penghormatan pada harkat martabat manusia) ayat 1, 2, 3, 4. Prinsip B (integritas dan sikap ilmiah) ayat 2, 3. Prinsip C (profesional) ayat 1, 2, 3, 6. Prinsip E (manfaat) ayat 1, 2, 3
2.        Bab III kompetensi
·         Pasal 7 (ruang lingkup kompetensi) ayat 2
3.        Bab IV hubungan antar manusia
·         Pasal 13 (sikap profesional).
·         Pasal 14 ayat 2 (pelecehan lain).
·         Pasal 15 (penghindaran dampak buruk)
4.        Bab V kerahasiaan
·         Pasal 24 (mempertahankan kerahasiaan data).
·         Pasal 26 (pengungkapan kerahasiaan data) ayat 1

5.        Bab XI asesmen
·         Pasal 65 (interpretasi hasil asesmen).
·         Pasal 66 (penyampaian data hasil asesmen) ayat 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar